2009-06-16

SERTIFIKASI GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

Oleh: Drs. Yahya Mof, M.Pd
Ketua Prodi D3 IPII Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin


Makalah ringkas ini mencoba menyemangati Bapak/Ibu guru yang sampai hari ini masih berstatus sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Pada makalah ini penulis menyajikan beberapa gagasan tentang berbagai upaya peningkatan profesionalisme guru. Ada beberapa hal yang mendapatkan sorotan dan menjadi isu utama yaitu mengenai perkembangan profesi guru, permasalahan guru di Indonesia, kompetensi penting profesi guru dan upaya-upaya guru meningkatkan profesionalisme.

1. Perkembangan Profesi Keguruan
Guru (dalam bahasa Jawa) adalah seorang yang harus digugu dan ditiru oleh siswanya. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua siswanya. Seorang guru juga harus ditiru artinya seorang guru menjadi suri teladan bagi semua siswanya ( mulai dari cara berpikir, cara bicara dan cara guru berprilaku sehari-hari). Dari sinilah sebenarnya sosok seorang guru memiliki peran yang luar biasa dominannya bagi para siswa.

Profesi guru adalah termasuk profesi yang tua di dunia. Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama. Perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pada zaman prasejarah proses pembelajaran berlangsung melalui pengamatan dan dilakukan oleh keluarga. Kemudian pada zaman Yunani dan Romawi Kuno pembelajaran one-to-one untuk kelompok elit masyarakat dilakukan oleh tutor. Hal ini terus berkembang pada pendidikan keagamaan di gereja.

Selanjutnya sistem persekolahan mulai berkembang pada zaman Koloni Amerika (1600-1800). dan sistem klasikal untuk masyarakat urban berkembang pada abad 19. Pada abad ke 20 (1900-1999) sekolah berkembang dalam sistem klasikal yang dilengkapi dengan berbagai media dan pemanfaatan teknologi. Perkembangan selaniutnva. terjadi perubahan konsepsi dari kelas dalam pengertian ruangan yang dibatasi empat dinding menuju kelas yang tanpa batas dan bersifat maya (virtual). Pada abad ke 21 sekarang dan seterusnya dapat dipastikan akan ada perubahan mengenai sistem persekolahan. yang secara pelan namun pasti mengarah kepada virtual school. Semua terjadi berkat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

Sejalan dengan perkembangan sistem persekolahan tersebut di atas, maka dalam sebuah proses pendidikan, guru merupakan salah satu unsur yang sangat penting selain kumponen lainnya. Selain itu profesi guru juga telah dan terus mengalami perubahan. Profesi guru di abad 21 ini dianggap sebagai unsur yang paling penting karena guru dituntut mampu memahami, mendalami dan dituntut berkemampuan melaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Dari sini diskursus tentang guru menjadi sangat relevan, apalagi jika dihubungkan dengan kondisi bangsa kita yang mengalami krisis multi deminsional. Menurut Prof. Dr. Ainurrafiq Dawam, MA beliau mengatakan bahwa guru dan dosen dianggap oleh sebagian pengamat pendidikan sebagai orang yang bertanggung jawab besar terhadap kegagalan pendidikan Nasional yang ternyata hanya mampu menghasilkan alumni yang korup, suka bertengkar dan mata duitan. Kemudian profesi guru sangat dipengaruhi oleh pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga guru dengan kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah besar, bahkan bisa melayani siswa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Guru bukan lagi hanya mengendalikan siswa yang belajar di kelas, tetapi ia mampu membelajarkan jutaan siswa di "kelas dunia"memberi pelayanan secara individual pada waktu yang bersamaan. Sementara itu dengan bantuan teknologi juga, pembelajaran tersebut dapat dilakukan secara multiakses dan memberi layanan secara individual di mana saja dan kapan saja. Guru di masa lalu sangat mengandalkan buku teks. dan ke depan kita semua diharapkan mampu memanfaatkan hypertext.

2. Permasalahan Guru di Indonesia
Profesi guru pada sistem persekolahan mulai berkembang di persada Nusantara pada zaman kolonial. Guru telah ikut berperan dalam pembentukan Negara-Bangsa Indonesia yang memiliki bahasa nasional Bahasa Indonesia. Profesi guru pernah menjadi profesi penting dalam perjalanan bangsa ini, terutama dalam menanamkan nasionalisme, menggalang persatuan dan berjuang melawan penjajahan.

Sayangnya pada beberapa dekade yang lalu dan masih berlanjut sampai kini profesi guru dianggap kurang bergengsi dan kinerjanya dinilai belum optimal serta belum memenuhi harapan masyarakat. Akibatnya. mutu pendidikan nasional pun dinilai terpuruk. Persoalan guru semakin menjadi persoalan pokok dalam pembangunan pendidikan, disebabkan oleh adanya tuntutan perkembangan masyarakat dan perubahan global. Hingga kini persoalan guru belum pemah terselesaikan secara tuntas.

Persoalan guru di Indonesia adalah terkait dengan masalah-masalah kualifikasi yang rendah, pembinaan yang terpusat, perlindungan profesi yang belum memadai dan perseberannya yang tidak merata sehingga menyebabkan kekurangan guru di beberapa lokasi. Kita bisa lihat realitas diperkotaan dengan populasi guru yang besar jumlahnya, sementara didaerah pinggiran kota atau dipegunungan banyak cerita guru-guru kita yang mengajar sambil berlari-lari. Hal ini terjadi karena dalam waktu yang bersamaan dia harus mengajar dan mengendalikan tiga kelas sekaligus. Segala persoalan guru tersebut timbul oleh karena adanya berbagai sebab dan masing-masing saling mempengaruhi.

Permasalahan guru di Indonesia tersebut baik secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai. Padahal sudah sangat jelas hal tersebut ikut menentukan kualitas pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional yang rendah, salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang rendah. Permasalahan guru di Indonesia harus diselesaikan secara komprehensif menyangkut semua aspek terkait yaitu kesejahteraan guru yang harus diperhatikan karena penghasilannya masih dibawah standar, kualifikasi pendidikan, pembinaan, perlindungan profesi, dan administrasinya.

Sebenamya sumber permasalahan pendidikan yang terbesar adalah adanya perubahan, karena itu permasalahan akan senantiasa ada sampai kapan pun. Institusi pendidikan dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula dengan guru, yang senantiasa dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan. Akibatnya demikian banyak permasalahan yang dihadapi oleh guru, karena ketidakmampuan nya menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di sekelingnya sebagai akibat dari keterbatasannya sebagai individu atau karena keterbatasan kemampuan sekolah dan pemerintah. Jadi masalah pendidikan senantiasa muncul karena adanya tuntutan agar institusi pendidikan termasuk guru menyesuaikan dengan segala perkembangan yang ada dalam masyarakat.

3. Kompetensi Penting Profesi Guru
Istilah profesi guru dan profesional mengandung berbagai konotasi. Profesi sering diartikan sebagai suatu mata pencaharian (pekerjaan) untuk memperoleh nafkah, mulai dari pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian tetapi mengandalkan tenaga, seperti pemulung, kuli bangunan, dan tukang beca, sampai pekerjaan yang memerlukan pendidikan keahlian (spesialisasi), seperti perekayasaan (engineering), kedokteran, hukum, dan keperndidikan.

Profesionalitas berasal dari kata profesi (profession) yang dapat diartikan sebagai jenis pkerjaan yang khas atau pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, atau dapat juga berarti beberapa keahlian atau ilmu pengetahuan yang digunakan dalam aplikasi untuk berhubungan dengan orang lain, instansi, atau sebuah lembaga. Prefesional adalah seseorang yang memiliki seperangkap pengetahuan atau keahlian yang khas dari profesinya.

Profesionalitas merupakan kepemilikan seperangkat keahlian atau kepakaran di bidang tertentu yang dilegalkan dengan sertifikat oleh lembaga. Seorang yang profesional berhak memperoleh reward yang layak dan wajar yang menjadi pendukung utama dalam merintis kariernya ke depan.

Profesional adalah cara individu melihat keluar dari dunianya. Sesuatu yang berhubungan dengan apa yang mereka lakukan terhadap organisasi dan profesi yang mereka emban. Bagi pendidik, secara sederhana dapat diwujudkan dalm bentuk hasil karya ilmiah, seperti buku yang telah mereka tulis atau pembelajaran yang mereka lakukan sesuai dengan kebutuhan. Bagi karyawan, apakah mereka telah melakukan kerja sesuai dengan prosedur organisasinya dan apakah mereka telah memberikan pelayanan serta melakukan pengarsipan dengan baik.

Castetter juga memberikan pandangan mengenai profesional ini yang diasumsikannya sebagai seseorang yang menghabiskan sebagian waktunya di dalam pembelajaran tertentu. Mereka ini merupakan individu yang memiliki lima karakteristik keterampilan, yaitu:

1. Memiliki keterampilan dasar (basic skill)
Keterampilan dasar yang dimaksud di sini adalah limu dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan di sekolah formal. Seseorang yang memiliki kualitas profesional harus menguasai substansi bidang keahliannya. Hal ini berarti sikap profesional mengisyaratkan akan pentingnya upaya peningkatan kualitas secara terus menerus agar mampu menghadapai berbagai persoalan yang berkaitan dengan bidang keahliannya secara kontekstual. Adapun profil kemampuan dasar bagi seorang pendidik adalah :
a. Mengasai materi pembelajaran, baik dalam kurikulum maupun aplikasinya dalam materi pembelajaran.
b. Mampu mengelola program pembelajaran dengan merumuskan tujuan instruksional, mengguakan metode mengajar dan prosedur instruksional yang tepat, serta memahami kemampuan siswa.
c. Mampu mengelola kelas (ruang belajar) dan menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif.
d. Menggunakan media atau sumber belajar, tertutama dalam menfaatkan laboratorium dan perpustakaan dalam proses pembelajaran.
e. Menguasi landasan kependidikan, baik secara konseptual maupun praktikal.
f. Mampu mengelola interaksi dlam proses pembelajaran dan memberikan penilaian yang komprehensif kepada siswa.

2. Menguasai keterampilan khusus (spesialisasi)
Saat ini kecendrungan dunia kerja akan bertumpu pada spesialisasi. Tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus mampu bertahan dan bersaing di abad mendatang. Di masa sekarang, sangat dibutuhkan seseorang yang memiliki kemampuan secara metodologis untuk menerapkan keahliannya dalam kehidupan dunia nyata dan selanjutnya mampu merancang, dan meneropong perkembangan bidang keahliannya dari waktu ke waktu.

3. Menguasai keterampilan komputer
Penggunaan komputer kini telah merambah dunia. Hampir semua sisi kehidupan umat manusia tidak terlepas dari peran komputer. Kehidupan manusia di abad mendatang akan sangat tergantung pada pelayanan komputer. Hubungan komunikasi dengan internet, multimedia, jaringan online dalam perbankan, dan dunia bisnis, semuanya menggunakan perangkat komputer, termasuk juga di dunia pendidikan. Oleh karena itu, sosok tenaga kerja yang dibutuhkan di masa ini adalah mereka yang mengerti dan menguasi komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya.

4. Menguasai keterampilan berkomunikasi dengan bahasa asing.
Berkomunikasi dengan bahasa asing, terutama dengan bahasa Inggris mutlak diperlukan di era globalisasi ini. Penguasaan bahasa asing menjadi persyaratan yang melekat pada sikap profesional karena hal ini menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan komunikasi profesional dalam mengembangkan tugasnya.

5. Menguasai keterampilan manajerial dan kepemimpinan
Kompetensi manajerial ini ditandai oleh kemampuan mengatur dan mengelola menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna. Salah satu cirinya ini adalah kemampuan menerjemahkan visi dan misi lembaga ke dalam situasi operasional. Hal ini menjadi penting kerena visi dan misi merupakan pedoman atau penentu arah kebijakan lembaga atau organisasi yang harus dengan cepat dapat diimplementasikan ke dalam kehidupan praktis di lembaga yang bersangkutan.

Seorang yang profesional, di mana pun mereka berada, akan memiliki kemampuan untuk bekerja sama, saling percaya dan dapat mengatur strategi, terbuka menerima ide-ide baru, mencari, melihat dan memecahkan masalah, serta mengumpulkan dan menganalisis data, sekaligus meningkatkan kemampuan pribadi untuk menanganinya dan bukan sekedar mengikuti standar prosedur pemecahan masalah yang dipraktikkan dalam masyarakat

Profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah: kompetensi bidang substansi atau mata pelajaran, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan nilai (keperibadian) dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat.

Beranjak dari persoalan di atas, apabila pemerintah sungguh-sungguh berusaha mengembangkan profisi guru, maka yang paling penting adalah persoalan profesionalisme guru meliputi peningkatan kompetensi. peningkatan kinerja (performance) dan jangan lupa peningkatan kesejahteraannya. Guru sebagai profesional dituntut untuk senatiasa meningkatkan kemampuan, wawasan dan kreativitasnya.

Masyarakat telah mempercayakan sebagian tugasnya kepada guru. Tugas guru yang diemban dari limpahan tugas masyarakat tersebut antara lain adalah mentransfer kebudayaan dalam arti luas, keterampilan menjalani kehidupan (life skills), dan nilai-nilai serta beliefs. Selain itu, guru secara mendalam harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan menjelaskan, mendefinisikan, membuktikan, dan mengklasifikasi. Tugasnya sebagai pendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap, tetapi mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu guru harus memiliki kompetensi dalam membimbing siswa siap menghadapi the real life dan bahkan mampu memberikan teladan yang baik.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa sekolah berubah dari zaman ke zaman. Di masa depan sekolah akan berubah dari format kelas menjadi selolah bersama dalam satu kota, sekolah bersama dalam satu negara, bahkan bersama di dunia atau sekolah global. Berkat kemajuan teknologi informasi sekolah bersama yang diikuti oleh siswa dalam jumlah besar tersebut dapat terlaksana. Kehadiran secara fisik dalam ruangan yang di sebut kelas tidak lagi menjadi keharusan, yang menjadi keharusan adalah adanya perhatian dan aktivitas secara mandiri terhadap sesuatu persoalan yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi interaktif. Oleh karena itu sejalan dengan perubahan format belajar klasikal ke belajar bersama secara global, tapi mandiri maka dapat dipastikan bahwa peran guru juga akan berubah. Selain itu peran guru di Indonesia juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan desentralisasi dan atau otonomi pendidikan. Guru di masa depan dituntut mengusai dan mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi dan berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan sesuatu (scientific curiosity'). Selain itu guru harus bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom. Peran guru seperti itu sejalan dengan era masyarakat madani (civil society).

Lebih jauh lagi akibat adanya sinergi dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta perubahan masyarakat yang lebih demokratis dan terbuka akan menghasilkan suatu tekanan atau pressure serta tuntutan atau demand terhadap profesionalisme guru dalam mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi tersebut. termasuk dalam hal pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya. Sebagaimana profesi-profesi lain guru adalah profesi yang kompetitif. Oleh karena itu guru harus siap untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa, dimulai dari menganalisis, merencanakan atau merancang, mengembangkan, mengimplementasikan, dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan.


Kemampuan-kemampuan yang selama ini harus dikuasai gurujuga akan lebih dituntut aktualisasinya. misalnya kemampuannya dalam: 1) merencanakan pembelajaran dan merumuskan tujuan, 2) mengelola kegiatan individu, 3) menggunakan multi metoda, dan memanfaatkan media, 4) berkomunikasi interaktif dengan baik, 5) memotivasi dan memberikan respons, 6) melibatkan siswa dalam aktivitas, 7) mengadakan penyesuaian dengan kondisi siswa, 8) melaksanakan dan mengelola pembelajaran, 9) menguasai materi pelajaran, 10) memperbaiki dan mengevaluasi pembelajaran, 11) memberikan bimbingan, berinteraksi dengan sejawat dan bertanggungjawab kepada konstituen serta, 12) mampu melaksanakan penelitian, sebagai wujud masyarakat yang rasional dan ilmiah.

Secara spesifik pelaksanaan tugas guru sehari-hari di kelas seperti membuat siswa berkonsentrasi pada tugas, memonitor kelas, mengadakan penilaian dan seterusnya, harus dilanjutkan dengan aktivitas dan tugas tambahan yang tidak kalah pentingnya seperti membahas persoalan pembelajaran dalam rapat dewan guru, dan pada kegiatan KKG atau MGMP mengkomunikasikan hasil belajar siswa dengan orangtua dan mendiskusikan berbagai persoalan pendidikan dan pembelajaran dengan sejawat. Bahkan secara lebih spesiflk guru harus dapat mengelola waktu pembelajaran dalam setiap jam pelajaran secara efektifdan efisien. Untuk dapat mengelola pembelajaran yang efektif dan efisien tersebut, guru harus senantiasa belajar dan meningkatkan keterampilan dasarnya. Menurut Rosenshine dan Stevens ada sembilan keterampilan dasar yang penting dikuasai oleh guru adalah keterampilan; 1) membuka pembelajaran dengan mereview secara singkat pelajaran terdahulu yang terkait dengan pelajaran yang akan disajikan, 2) menyajikan secara singkat tujuan pembelajaran, 3) menyajikan materi dalam langkah-langkah kecil dan disertai latihannya masing-masing, 4) memberikan penjelasan dan keterangan yang jelas dan detil, 5) memberikan latihan yang berkualitas, 6) mengajukan pertanyaan dan memberi banyak kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pemahamannya, 7) membimbing siswa menguasai keterampilan atau prosedur baru, 8) memberikan balikan dan koreksi, dan 9) memonitor kemajuan siswa (Rosenshine & Stevens. 1986). Selain itu, tentu saja masih ada keterampilan lain yang harus dikuasai guru misalnya menutup pelajaran dengan baik dengan membuat rangkuman dan memberikan petunjuk tentang tindak lanjut yang harus dilakukan siswa.

Pendeknya banyak hal-hal kecil yang harus diperhatikan dan dikuasai oleh guru sehingga secara kumulatif membentuk suatu keutuhan kemampuan profesional yang bisa ditampilkan dalam bentuk kinerja yang optimal.

Dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru. maka guru sendiri harus mau membuat penilaian atas kinerjanya sendiri atau mau melakukan otokritik. Di samping itu kritik, pendapat dan berbagai harapan masyarakat juga harus menjadi perhatiannya. Oleh karena itu, guru harus memperbaiki profesionalismenya sendiri, sementara masyarakat membantu mempertajam dan menjadi pendorongnya.

4. Upaya-upaya Guru Meningkatkan Profesionalisme
Peningkatan profesionalisme tersebut pada akhirnya terpulang dan ditentukan oleh para guru itu sendiri. Upaya apa sajakah yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan profesionalismenya?

Menurut hemat penulis guru harus selalu berusaha untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, memahami tuntutan standar profesi yang ada, Kedua mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan, Ketiga, membangun hubungan dengan teman kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi. Keempat, mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen, Kelima, mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir agar senantiasa tidak ketinggalan dalam kemampuannya mengelola pembelajaran.

Upaya memahami tuntutan standar profesi yang ada (di Indonesia dan yang berlaku di dunia) harus ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru kita ingin meningkatkan profesionalismenya. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobilitas guru secara lintas negara. Kedua, sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global, dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan vang lebih baik. Cara satu-satunya untuk memenuhi standar profesi ini adalah dengan belaiar secara terus menerus sepanjang hayat, dengan membuka diri yakni mau mendengar dan melihat perkembangan baru, terutama pada bidang keahlian kita masing-masing.

Kemudian upaya mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan juga tidak kalah pentingnya bagi guru. Dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai maka guru memiliki posisi tawar yang lebih kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini dapat ditempuh melalui in-service training dan berbagai upaya lain seperti kembali berjuang melanjutkan studi di perguruan tinggi. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak mensertifikasi guru-guru kita ini, jika kelak di kemudian hari sudah menjadi sarjana pendidikan.

Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja atau networking. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui networking inilah guru memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya. Jaringan kerja guru bisa dimulai dengan skala sempit, misalnya mengadakan pertemuan informal kekeluargaan dengan sesama teman, sambil berolahraga, silaturahmi atau melakukan kegiatan sosial lainnya. Pada kesempatan seperti itu, guru bisa membincangkan secara leluasa kisah suksesnya atau sukses rekannya sehingga mereka dapat mengambil pelajaran lewat obrolan yang santai. Bisa juga dibina melalui jaringan kerja yang lebih luas dengan menggunakan teknologi komunikasi dan mformasi, misalnya melalui korenspondensi dan mungkin melalui intemet untuk skala yang lebih luas. Apabila korespondensi atau penggunaan intemet ini dapat dilakukan secara intensif akan dapat diperoleh kiat-kiat menjalankan profesi dari sejawat guru di seluruh dunia. Pada dasarnya networking/ jaringan kerja ini dapat dibangun sesuai situasi dan kondisi serta budaya setempat.
Selanjutnya upaya membangun etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelavanan bermutu tinggi kepada konstituen merupakan suatu keharusan di zaman sekarang. Semua bidang dituntut untuk memberikan pelayanan prima. Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada konstituennya yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik vang didanai. diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik.

Satu hal lagi yang dapat diupayakan untuk peningkatan profesionalisme guru adalah melalui adopsi inovasi atau pengembangan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi pendidikan yang mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir. Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide baru bidang teknologi pendidikan seperti media presentasi, komputer (hard technologies) dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi pendidikan (soft technologies).

Upaya-upaya guru untuk meningkatkan profesionalismenya, pada akhirnya memerlukan adanya dukungan dari semua pihak yang terkait, agar benar-benar terwujud.

Semoga tulisan ini dapat menyentuh seluk beluk kehidupan dunia Oemar Bakri dan bisa menjadi ’’ kaca benggala ’’ setelah ditampilkan banyak solusi dan kiat praktis demi terciptanya guru yang profesional.

Perlu diyakini bahwa bapak ibu sebagai guru yang potensial dan profesional dimaksud, sampian semua punya harapan besar, tidak lagi hanya memiliki pangkat jenderal tetapi gaji kopral. Ke depan semakin tampak kesejahtraan guru-guru kita yang potensial dan profisional itu akan menikmati pangkat setingkat jenderal dengan gaji se gudang. Insya Allah

Selamat berjuang bapak ibu guru sukses menanti anda.
Terima kasih dan mohon maaf.
Daftar Pustaka
Anglin. G.J. (1995). Instructional technology. Past Present and Future. Englewood: Libraries Unlimited. Inc.
Houston. W.R. et al. (1988). Touch the Future Teach! St. paul: West Publishing Company.
Mimin Haryati (2007), Model dan Teknik Penilaian Pada KTSP. Jakarta : Gaung Persada Press.
Pannen. P.dkk. (1999) Cakrawala Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Purwanto. (2000). Difusi Inovasi. Jakarta: STIA LAN Press.


Read More......

2009-06-12

D3 IPII In Photos

1. Seminar Kepustakawanan





2. Praktek Kerja Lapangan Mahasiswa di Perpustakaan




Read More......

2009-06-01

Pengumuman Penerimaan Mahasiswa Baru

Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam (D 3 IPII) Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin menerima putra-putri Warga Negara Indonesia untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi D 3 IPII Tahun Akademik 2009-2010.
Salah satu syarat bagi pendaftar adalah telah berijazah Sekolah Menengah Umum (SMU)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Pendaftaran dilaksanakan pada hari dan jam kerja pada tanggal 01 Juni s.d. 01 Juli 2009 untuk gelombang pertama dan mulai bulan juli sampai agustus untuk gelombang kedua pada lokasi yang telah ditetapkan.
Formulir Pendaftaran beserta keterangan selengkapnya dapat dibaca dalam
lampiran pengumuman di bawah ini:

Brosur Penerimaan Mahasiswa Baru D3 IPII download disini

Read More......

2009-03-31

THE CONCEPT OF COLLECTION DEVELOPMENT POLICY AT LIBRARY

Oleh: Muhammad Nur Effendi, S.Ag., S.S., M.Pd.I (Dosen Tetap D3 IPII IAIN Antasari Banjarmasin
A. Introduction
A collection development policy is a statement written for library’s intentions for building its collection. It describes the collection’s strengths and weaknesses and provides guidelines for library staff. Collections development purpose for building a good and correct library collections for the importances of its users. Producing one is a commitment; it takes time and careful consideration to develop a useful and relevant document. The collection will be used users so the collection must be correct, useful for user community.
This policy is established by the Library Board of Control to further public understanding of the purpose and nature of the library's collection and to provide guidance and direction to the library staff for the development and maintenance of the Library's collection. Because of the volume of publishing as well as the limitations of budget and space, the library must have a collection development policy with which to support the library’s mission and community needs.
A collection development policy should be a living document, adaptable to change and growth. It provides guidelines that can be modified as library’s collection needs change. This section discusses the importance of collection development policies, outlines the basic elements of these policies, and identifies the steps involved in writing a policy for developing library collection. It should be noted, that as libraries put important policy and other documents on their websites, it is possible to link from one document to another without the need to duplicate information that once had to be included in more than one document. Use your common sense to determine when a section of the collection development policy might be excluded by linking to the same information in another official document also on the Web.
B.General Purpose of Collection Developement
The Library is actively building its media collection to serve the changing needs of library user community. Items in the collection circulate as liberally as the nature of the material, copyright restrictions, and demand allow. Collection Development Policy supports the library mission, the community strategic plan, and state standards for public libraries.
The general purpose of the Library collection development is to serve all the people with materials, information, and services through a network of branches that are conveniently located and easy to use. The library strives to help people make informed decisions, enjoy their free time, and continue learning all their lives. The library must provide a wide range of materials at all levels of difficulty, with diversity of appeal, considering the ability and maturity level of the users served, with the presentation of various collections. The Library Board and Staff are committed to providing high quality, cost effective, equitable service that meets the needs of library user community
A primary goal of the collection is to be accessible to all users . These goals are that the library will provide: educational resources, equal access to information about the community, cultural resources and local history, and convenient access to information.
The library collection is evaluated annually using standards depend on their Libraries and staff experience in how and what the users use the library collection. The Standards evaluate a collection based on Materials per Capita, age of the Collection and turnover of Materials. Staff uses collection comparison to standards, evaluation of the collection based on use, space available and collection objectives which are reviewed and revised annually.
C. Responsibilities for Collection Development
Responsibility for selection ultimate responsibility for material selection rests with the Manager and all the people ( librarians, library staffs) who relates within the framework of policies determined by the Board of Library Trustees. The Library manager must be able to answer to the Library Board and the general public for actual selections made by staff, he/she has the authority to reject or select any item contrary to the recommendations of the staff.
The Collection Development Librarian oversees the selection process and provides professional support for other material selectors as well as tracks the material budget to insure a flow of new materials throughout the year according to budget allocations.
Community participation involvement by the user community in the selection process is encouraged. It is very crucial to involve community in order to give their contribution for this development and selection. Several mechanisms are provided for this purpose including: analysis of pending hold and interlibrary loan requests, reference questions, and purchase suggestions submitted by library users. User suggestions for purchase will be evaluated in accordance with the collection development policy. Accessibility of Materials All materials are shelved on open shelves, freely and easily accessible to the public.
The library assures free access to its holdings for all users, who are free to select or reject for themselves any item in the collection. Individual or group prejudice about a particular item or type of material in the collection may not preclude its use by others. Children are not limited to the children's collection, although these collections are kept separate from other library collections to facilitate use. Responsibility for a child's reading must rest with the parent or guardian, not with the library.
D. Importance of Collection Development Policies
Every library, no matter how small, should have a collection development policy. Such a policy is really an expanded version of the mission or purpose of the library. The policy can be useful in several ways. First, a policy provides a point of reference for staff to consult when deciding on whether to acquire, discard, or reject an item. By following the guidelines established in developing policy, librarian makes more consistent and informed decisions about the collection and provide continuity during times of staff turnover or funding changes. In addition, the policy serves as a source of reinforcement when an item is challenged by a patron.
E.Preparing a Collection Development Policy
Preparing a collection development policy is a major project. As such, one needs to recognize that it will be time-consuming and require a lot of consultation and referrals with Board members, staff and perhaps other librarians and citizens. There are many resources that can be made upon to assist librarians with the process. These include librarians and staff members in other libraries both those libraries that are similar and those very much unlike other library policy, examples posted on the Web by other libraries, and a wealth of professional writing and materials on the Web and in traditional print.
Here are some guidelines that might find useful to help librarians get started writing a policy for their library if the library does not already have one or to revise a policy that has become outdated or inadequate.
1. Establishing the procedure
Before librarian begin to revise or initially prepare a policy, governing board or other entity should be informed. A discussion with them should help determine what the process will be, who will be involved initially, what is to be included, and what the timeline for the project is to be.
Collection development policies may be written by a committee that includes perhaps the library director, an informed staff member, and a Board member, or by an individual. In most instances, the task of actually putting the pieces together, editing the final version, informing the Library Board about the implications of various policy options, and even educating them about collection development policies will fall to the library director. No matter how the pieces of the policy are written or who drafts them, the Library Board and the staff will need to review and provide input on each segment. A library policy of any type by definition is an official document and as such must be officially adopted by the Board at a regularly scheduled public meeting. At this point it is useful for librarians to provide board and/or committee with an outline of the policy elements.
2. Gathering data
Pull together all of the pieces of the puzzle librarians will need before they begin. Create a file folder or box to contain all of the following types of information:
1) Basic data about community (population, size, age distribution, educational levels, and other library and educational opportunities available to the citizens) are likely already in place if they have recently engaged in developing a strategic plan. If a planning process is not likely soon but librarian needs a collection development policy now, then they will need to gather this information .
2) In particular they want to recognize and focus upon changes or issues that are now or might soon affect the informational and recreational needs of particular community segments.
3) The library’s current long-range or strategic plan provides large segments of what is initially needed for the policy.
4) Data gleamed from doing a collection assessment as well as data about how much the collection is used, and what its strengths and weaknesses appear to be.
5) Existing policy statements. Sometimes they will find these buried away in files and not being used at all to make daily decisions.
6) Written procedures about the work within the library, especially those related to gifts, acquisitions, processing, and circulation. All of these might impact what the policy will ultimately reflect and they are likely to want to refer to these as the details of the policy are sorted out.
3. Writing the policy
The discussion about the collection development policy elements includes advice about which pieces of the policy might be drafted first by an individual such as the librarian and those pieces that will need prior discussion by the Board before any general decisions are formalized into a draft statement. Sometimes it is helpful to draft a few of the easy components first and bring these pieces to the Board for discussion and general approval as a starting point for the policy process. This gets the project off to a good start and helps to energize everyone. The policy outline librarians have already shared with them provides an easy way to check off topics as they are finished. Then they can move on to another piece to resolve. Like list-making, this gives individuals a sense of making progress on a big task.
After identifying pieces such as a summary description of the community served by the library and any other sections that might already exist in another official document to which they could create a link from the policy, proceed to the preparation of some of the generally easy sections to draft and discuss such as the purpose of the policy itself and the policy on gifts.. In order for the Board to understand the issues it is essential that they be given a sense of the range of options that might be selected. In the case of gifts, there are many options. The policy can range from accepting everything (no longer a good option in even the smallest community) to accepting only unencumbered money.
One might bring a worksheet to the staff and later to the Board with a number of options identified. Then discuss the advantages and disadvantages of each option. Let the Board determine what the policy is ultimately to be and then you or whoever is writing the policy statements can incorporate the decision in a draft gift statement to come before the Board for general approval at their next meeting. One might wish to take some of the “touchy” issues to the Board for discussion prior to even drafting any of the words or options.
In the course of writing the policy one must think carefully about the statements presented in the policy and how your library constituents will perceive them. The collection development policy can be a public relations tool for library, as well as protection against questions about library’s collection practices and a guide for staff members involved in making collection decisions.
4. Getting the policy approved
Once they have general approval of all of the components of the policy and it has been thoroughly revised and edited (get someone other than the main writer to do the editing), it is time to get it officially adopted as the policy of the library. This should be done at a Board meeting or other meeting of the officials responsible for setting policy. Ideally they would like the entire policy to be adopted through a single vote at this point. The official copy of the policy should be signed and dated by the appropriate person (usually a library board chair), its adoption and the record of the vote should appear in the recorded minutes of the meeting. This final and formal approval as well as their work with the board during the process of writing the policy helps to ensure that they understand the importance of the policy and that they can be more certain of their backing in times of controversy.
5. Using policy
The purpose of the policy is to use it. Therefore, be certain that it is posted on the library’s website, that every staff member is given a copy, and that a nice copy (perhaps in a folder) is always available at the circulation desk for an interested citizen to read and for staff to consult if need be. In order to be prepared to revise the policy when the time comes, it is a good idea to keep a copy of the policy easily available at all times (in a handy file folder perhaps) and to use it to make notes.The notes might reflect situations that arise for which there appears to be little guidance or for instances when lack of clarity becomes apparent in deciding about the inclusion or exclusion, the specific location, or the level of access for a particular title, type of material, or format. If they find the policy does not help them make consistent decisions then they might wish to make a note in the margins regarding the type of revision or the question that needs to be addressed next time the policy is revised.
6. Revising policy
It is critical to review the policy according to the schedule they will have included in the final section of the policy. This should be at least every three years. The good news is that revising a policy, if done in a timely fashion, requires only minor changes. Collection development is a collaborative process, and faculty and students, user community, government are encouraged to provide recommendations for library materials selection.
All materials selected under the guidelines of this policy will be available to the public in circulating or non-circulating collections, within the rules governing the use of such materials.
Requirements for responsible use may be applied to the use of certain materials and/or equipment.Library materials representing a wide range of interests and reading levels are selected to meet the needs of the patrons. The responsibility of choosing from this range of materials rests with the user.
F. Selection and Development Criteria
To build collections of merit and significance, materials must be measured by a number of criteria. The basic test for selection of any item is whether it is of proven or potential interest to the people served. Other considerations include the quality of the material, the attention of critics, reviewers and the public, the amount of similar materials already in the collection, and the extent to which the material may be available elsewhere in the community. In addition, the cost and physical makeup of the material are considered. These decisions are all professional in nature.
Materials should be selected both to satisfy the prevalent tastes, needs and reading abilities in the community and to provide diversity in recognition of changing and minority interests. In choosing materials to suit a variety of tastes, differing viewpoints on controversial issues will be included.
The Collection Development Coordinator and library staff further consider a title in terms of its Library collection priorities, level of community interest, ability to provide diversity or balance to the collection, availability through interlibrary loan, collection priorities of other libraries in the service area, and funding. In addition to collection-wide selection and collection criteria, the development of some subject collections, such as Genealogy, requires the application of more specific selection criteria and collection parameters.
1). Nonfiction Criteria
Each item is evaluated in its entirety and not on the basis of a particular section.While a single standard cannot be applied to each work, the following general criteria are to be considered when selecting materials for purchase: authoritativeness of the writer and reputation of the publisher; accuracy of information; impartiality of opinion, or clearly stated bias; timeliness of data; adequate breadth and depth of coverage; appropriateness and relevancy of subject to the library's users; popular demand; historical value; availability of similar material within the community and other area libraries; organization and style appropriate to the material and to the library's users; good quality illustrations; special features, such as bibliography and index; durable binding and paper; and cost.
2).Fiction Criteria
Works of contemporary fiction, graphic novels, and classic works of enduring value are included in the collection. Fiction is selected according to the following criteria:popular demand; bestsellers; genre; local author; reputation of the author and publisher; appropriateness to the library's users; importance as a document of the times; relationship to the existing collection and to other titles and authors dealing with the same subject; interest and originality of the plot; interest and development of the characters; style of writing; literary merit; inclusion in standard library bibliographies; availability of similar material within the community and other area libraries; the physical qualities of the book; cost; and whether a title is part of an existing series.
3).Periodicals Criteria
Periodicals are publications issued and received on a regular basis in print, microfilm, or electronic format. The library provides representative periodicals in a wide range of subjects of reference value and recreational interest. Selection is based on cost; requests by library users or library employees; whether the periodical has local or regional interest; and whether a subject area needs to be expanded to help balance the collection.
4). Reference Criteria
Reference materials, whether in print or computer-based formats, are those designed by the arrangement and treatment of their subject matter to be consulted for definite items of information rather than to be read consecutively. They can provide quick, concise, up to date or current information or they may serve as an index to other materials in the collection. Since they are typically used daily by the public and Library staff to answer specific questions, books in the reference collection are designated for use within the Library. So it is needed to know its authorship, content, configuration and arrangement on the reference material.
5) Computer-Based Resources Citeria
The following criteria should be considered when evaluating computer-based resources for the collection: compatibility with available equipment and/or existing operating systems; ease of use by library users, including enhanced searching capabilities; price of print format versus electronic; authority; accuracy; frequency of updating; anticipated demand by library users; impact upon staff for ongoing maintenance and updating of database; training requirements for staff and the public; remote access capability; and licensing fees and usage restrictions.
G. Special Collections Development
a. Gifts of Library Materials
The gifts section has a number of responsibilities. A library with a special collections department may actively attempt to secure gifts from various donors. The primary function of a gifts section is to evaluate any materials donated and to decide what to do with them.
Gifts are accepted with the understanding that they will be considered for addition to the collection in accordance with the Material Selection Plan. The library reserves the right to sell or otherwise dispose of gifts and donated materials through branch book sales, the Friends of the Library book sales, recycling or disposal services.
b. Monetary Donations
Gifts of money are always welcome and appreciated. Specific recommendations from the donor are honored as far as the suggestions enhance subject areas of need within the collection and are in accordance with the Collection Development Policy selection guidelines.
H. Weeding (Deselection)
Book withdrawal is an important aspect of collection development. When library books lose the value for which they were originally selected, they should be withdrawn. This task takes skill, care, time, and knowledge of the materials to do a competent job.
The purpose of a withdrawal policy is to insure that the collection remains vital and useful by:
a. discarding and/or replacing items in poor physical condition
b eliminating items with obsolete, misleading or superseded information
c. reducing the number of copies of titles whose relevance to the community has lessened.
The following criteria to evaluate a title's current usefulness to the materials collection:
a.M = Misleading (and/or factually inaccurate)
b.U = Ugly (worn and beyond mending or rebinding)
c. S = Superseded by a truly new edition or by a much better book on the subject
d.T = Trivial (of no discernible literary or scientific merit)
e. Y = Your collection has no use for this book (i.e. irrelevant to the needs and interests of the community)
I. Conclusion
The collection development must be done at library at least in every three years. The collection development policy covers selection, processing, weeding, evaluation of library collection. A collection development policy must be a living document, adaptable to change and growth. It provides guidelines that can be modified as library’s collection needs change.
The purpose of the Library collection development is to serve all the people with materials, information, and services through a network of branches that are conveniently located and easy to use.
A good and correct collection is the collections that would be accessible to all users . These goals are that the library will provide: educational resources, equal access to information about the community, cultural resources and local history, and convenient access to information.
Responsibility for selection ultimate responsibility for material selection rests with the Manager and all the people ( librarians, library staffs, user community) who relates within the framework of policies determined by the Board of Library Trustees.
Community participation involvement by giving contribution in the selection process is encouraged. It is very crucial to involve community in order to give their contribution for this development and selection. Because the library is based on the importance of its user community.





Reference
Anderson, J. S. (ed.). (1996). Guide for written collection policy statements (2nd ed.), Chicago: American Library Association.
Buxton, Andrew and Hopkinson, Alan. (1994). The CDS/ISIS Handbook. London: The Library Association.
Bloomberg, Mary & Evans,G. Edward,(1985). Introduction to Technical Services for Library Technicians, Colorado :Libraries Unlimited, Inc.
Dardiri, taufif Ahmad, (2001) Pedoman Pengelolaan Perpustakaan Madrasah . Yogyakarta: FKBA ( Forum Kajian Budaya dan Agama)
Gorman, G.E., & Miller, Ruth H. (Eds.). (1997). Collection management for the 21st Century: A handbook for librarians, Westport, CT: Greenwood Press.
http://www.unesco.org/libraries/manifestos/school_manifesto.html, 4/27/2005
Iannuzzi, Patricia. (1999) Teaching Information Literacy Skills. USA : A Viacom Company.
Masruri,Anis&Rohyanti,Zulaikha,SriRohyanti,(2006)Coursepack:on school/Teacher Librarianship, Yogyakarta : Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, fakultas Adab.
Septiyantono, & Tri, Sidik, Umar,(2007) Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Yogyakarta : Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab.
Salton, Gerard, (1975). Dynamic Information and Library Processing.New Jersey:Prentice-Hall, Inc

Read More......

2009-03-25

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH (Problematika Pembinaan Moral Keagamaan Siswa dan Solusinya)

Oleh: H. Hamdan HM*)

ABSTRAK

Pendidikan agama di sekolah merupakan the central agent dalam membentuk perilaku atau moral siswa, namun kenyataannya tugas tersebut sangat berat dirasakan oleh guru-guru agama hal ini disebabkan beberapa factor yang antara lain jam pelajaran agama di sekolah sangat-sangat terbatas, lingkungan yang tidak mendukung, disiplin keluarga dan kontroll social yang sangat longgar dan lain-lain. Kita berharap pendidikan agama dapat menjalankan fungsinya sebagai the central agent dalam membentuk akhlakul karimah, hal ini dapat dilakukan apabila efektifitas dan efesiensi pelaksanaan pendidikan agama di sekolah dapat dilaksanakan, political will dari pimpinan sekolah dalam menciptakan lingkungan yang Islami, peranserta keluarga dan kontroll masyarakat dalam amar ma’ruf dan nahil mungkar.

Kata-kata kunci: Pendidikan agama, problematika, moral remaja, akhlak, perilaku siswa.

A. Pendahuluan

Berbicara tentang pendidikan, maka tidak lepas membahas komponen-komponen pendidikan seperti; guru, peserta didik, lembaga pendidikan, fasilitas, dana dan lain-lain. Banyak sekali factor yang turut andil dalam mensukseskan penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana diketahui bahwa sekolah merupakan lemabaga yang sangat strategis dalam rangka mencerdaskan bangsa dan mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang pada gilirannya dapat memajukan bangsa dan Negara, sebagaimana tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Pendidikan No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab III pasal 2 yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
---------------
*) Tenaga Edukatif pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin, S.2 Manajemen Pendidikan IKIP Malang. Kepala MDC Kal-Sel Kanwil. Depag,

Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya baik dalam bentuk regulasi atau perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan menteri, berbagai pentaran dan pelatihan, penyediaan dan pemenuhan berbagai fasilitas pendidikan, sampai kepada anggaran pendidikan yang mencapai 20 % dari anggaran APBN yang dilaksanakan secara bertahap. Namun untuk mewujudkan tujuan tersebut tidak semudah membalik telapak tangan, banyak sekali faktor yang harus dibenahi dan menjadi perhatian semua pihak.
Tegak, lenggang dan majunya sebuah negara tergantung dari sumber daya manusianya, sebuah negara akan mempunyai martabat yang dihormati oleh bangsa-bangsa lain adalah kemandirian bangsa dan tingginya akhlak suatu bangsa tersebut. Akhlak atau sebagian orang menyamakan dengan moral merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh setiap warga negara kalau kita ingin bangsa ini dapat dikatakann bermartabat yang oleh Nurcholis Majid disebut dengan masyarakat madani atau civil society.

B. Perilaku Siswa Melanggar Norma/Tata Aturan atau Moral
Siapapun dia apapun profesi dan jabatannya sudah pasti orangtua menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang baik, yang dikatakan bermoral, berbakti kepada orang tua, dan berguna bagi bangsa dan negara, kenyataannya banyak sekali anak yang kelihatannya baik-baik pada awalnya, tetapi lambat laun ia sering sekali melanggar norma, aturan bahkan dapat dikatakan tidak bemoral.
Kenyataan tersebut seperti yang sering dijumpai di sekolah-sekolah, seperti; adanya siswa suka membolos, tidak disiplin, berbohong, berani menentang guru dan orang tua, bahkan ada yang lebih parah lagi seperti; perkelahian (tawuran), terlibat dalam pergaulan bebas, terjerumus kedalam lambah nakoba, mencuri, bejudi, dan tindakan kriminal lainnya.
Pada tahun 1990an sering terjadi perkelahihan massal (tawuran) yang terjadi di kota-kota besar, salah satu ilustrasi kenakalan remaja; pernah terjadi di salah satu Madrasah Aliyah di kota Banjarmasin, pada saat proses belajar mengajar dimana saat guru menjelaskan materi di depan kelas terhadap satu pokok bahasan sementara di barisan bangku paling belakang siswa berjudi dengan taruhan menebak isi buah manggis (berjudi). Baru-baru ini ditemukan beberapa orang siswa SMK swasta di Banjarmasin kedapatan sedang mabuk setelah memakai narkoba, Hal yang tidak dapat dipungkiri, banyak siswa SMA bahkan siswa SMP yang membawa HP yang di dalamnya berisi foto-foto atau video porno yang sering tertangkap pada saat razia di kelas.
Apakah perilaku terebut dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja, atau sesuatu yang sudah serius yang harus dicari apa penyebabnya, dan apa yang melatar-belakanginya, Guru sebagai seorang pendidik sering memberikan sanksi atau hukuman kepada anak/siswa yang merupakan suatu laziman di sekolah, kerena itulah peraturan sekolah. Namun sebaiknnya jangan sampai di situ saja, akan tetapi harus dicari akar permasalahan yang menyebabkan siswa berperilaku demikian, kita sering mengatakan wah ini kenakalann remaja, tetapi sangat jarang mengatakan kenakalan orang tua. Karena itu, marilah kita berpikir bijak dan proporsional menghadapi problema moral siswa, mencari akar penyebabnya, sehingga dengan demikian dapat dicarikan solusinya yang jitu, tepat, dan dapat mengatasi masalah tersebut dengan tuntas. Tentu kita tidak ingin memecahkan suatu masalah yang akan menimbulkan masalah baru lagi.

C. Kontribusi yang Menyebabkan Terjadinya Kenakalan Remaja
Kita sebagai sebagai warga negara tidak bisa lepas dari warga dunia yang mengglobal yang tidak dapat kita hindari dimana arus gobalisasi dan arus informasi gobal (intenet) dengan leluasa masuk ke rumah-rumah kita tanpa dapat kita hindari bahkan dapat diakses melalui telefon selular atau HP (hand phone). Hal ini merupakan salah satu kontribusi yang menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku siswa (remaja). Selain itu, pengaruh dari media cetak dan elektronik yang kebanyakan lebih banyak menghibur (entertainment) daripada unsur edukatif. Program acara TV banyak menayangkan sinetron yang jauh dari realita hidup yang sebenarnya, berbau magik, kekekarasan, perselengkuhan, pergaulan bebas, dan pelecehan seksual, ingin kaya secara instant dan lain-lain, tayangan seperti ini sudah tentu akan meracuni pikiran para anak dan remaja kita, yang melahirkan perilaku penyimpang dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka terbuai dengan sajian film atau senetron dan berusaha untuk mencobanya dalam kehidupan nyata.
Hal lain yang menyebabkan kenakalan remaja adalah sukarnya bagi anak dan remaja mencari dan menemukan tokoh yang menjadi idola atau panutan (uswatun hasanah). Kalau kita tanya kepada anak-anak usia PAUD (Taman kanak-kanak), maka kita akan memperoleh jawaban yang membuat kening kita berkerut, jawaban anak kalau sudah besar dia ingin seperti, Ultraman, atau Power Ringers/Superman dan tokoh-tokoh fiktif lainnya. Mereka tidak menyadari bahwa tokoh-tokoh tersebut tidak akan dapat mereka teladani, bahkan bisa membuat mereka prustasi.
Faktor lain yang turun andil terjadinya kenakalan remaja adalah lemahnya control social tentang pelaksanaan amar ma’ruf nahil munkar, nampaknya sekarang ini di masyarakat sudah dihinggapi rasa individualism, dimana keshalehan hanya bersifat individu, tidak peduli dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sehingga kemungkaran dapat saja terjadi dimana-mana dan kapan saja. Kata Mohammad Natsir, memadamkan api akan mudah bila api itu masih kecil, tetapi apabila ia sudah besar tentu akan susah memadamkannya.
Kenakalan remaja dapat juga disebabkan oleh keadaan dan hubungan antar anggota keluarga yang berjalan tidak harmonis, karena hal tersebut tidak jarang anak akan terjerumus kedalam lembah maksiat seperti keluarga yang broken home atau bisa saja antara ayah, ibu dan anak tidak ada kesempatan berkomunikasi dan curhat. Sehingga ia lari mencari kesenangannya sendiri luar rumah yang sudah barang tentu tidak dapat lagi terkontrol siapa temannya dan di mana ia menghabiskan waktunya.
Sistem pendidikan di sekolah juga memberi peluang terjadinya penyimpangan perilaku, dimana pendidikan agama diberikan hanya 2 jam pelajaran setiap minggunya, apalagi 2 jam tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh guru agama, disamping itu ada anggapan bahwa pembinaan akhlak/moral siswa di sekolah sepenuhnya diserahkan tanggung jawabnya kepada guru agama, sementara guru-guru lain tidak terlibat. Bahkan kalau ada siswa yang berperilaku a moral terkadang yang disalahkan guru agama. Padahal tanggung jawab pembinaan moral siswa adalah tanggung jawab semua guru, tidak terkecuali guru matematika atau kesenian dan lain sebagainya.
Sebagian tokoh agama berpendapat anak-anak yang nakal yang perilakunya tidak bermoral adalah mereka yang boleh jadi belum ditebus dengan aqiqah (menyembelih kambing 2 ekor untuk anak laki-laki dan 1 ekor untuk anak perempuan), namun bisa jadi anak diberi makan dari rizki yang kurang atau tidak halal.
Menurut penulis itulah sebagian besar diantara penyebab terjadinya kenakalan remaja, yang menyebabkan siswa berperilaku tidak bermoral atau menyimpang dari fiterahnya semula.

D. Fungsi dan Pendekatan Pembelajaran Agama
1. Moral apa sama dengan akhlak?
Moral sama dengan etika yang merupakan nilia/norma yang bersumber dari filsafat atau produk manusia yang selalu berubah tergantung pada paradigma, gaya hidup (life style) yang bersifat nisbi dan lokal. Sementara akhlak merupakan nilai/tata aturan yang bersumber dari wahyu Allah yang bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman.
Jadi moral siswa berarti siswa yang memiliki dan mentaati tata aturan yang dibuat oleh manusia dan bersifat local dan tata aturan tersebut selalu berubah tergantung tempat dengan zamannya. Sementara akhlak siswa adalah mereka yang selalu taat dengan nilai/aturan dan konsep ilahy yang selalu membentenginya dimanapun ia berada dan kapanpun saja.

2. Fungsi Pendidikan agama
Pendidikan agama di sekolah yang waktunya terbatas harus dimanfaatkan secara maksimal dalam mewujudkan al insan kamil dengan jalan melaksanakan fungsi-fungsi pendidikan agama, yaitu sebagai berikut:
a) Fungsi pengembangan, yaitu pendidikan agama di sekolah berfungsi meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah swt yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga.
b) Fungsi penyaluran, yaitu pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah berfungsi menyalurkan bakat khusus bidang agama yang dimiliki peserta didik, agar bakat tersebut dapat tersalurkan dan berkembang secara optimal untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
c) Perbaikan, bahwa pendidikan agama di sekolah berfungsi memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki peserta didik dalam hal keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
d) Pencegahan, bahwa pendidikan agama di sekolah seyogyanya dapat menangkal hal-hal yang negative dari lingkungan sekitar atau dari budaya luar yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam.
e) Penyesuaian, bahwa pendidikan agama harus mampu mengarahkan peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun linkungan social, juga dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.
f) Sumber Nilai, dimaksudkan bahwa pendidikan agama harus dapat menjadi pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
3. Pendekatan-pendekatan Pembelajaran PAI
Pendidikan agama merupakan pendidikan pokok yang harus diberikan agar dapat membentengi para siswa dalam mengharungi kehidupan sehari-sehari baik sekarang maupun yang akan datang. Agar pendidikan agama tersebut dapat mengkristal dan dapat terinternalisasi dalam dirinya, maka dengan demikian guru agama seharusnya melaksanakan beberapa pendekatan PAI, yaitu sbb:
a) Pendekatan pengalaman, yaitu memberikan pengalaman keagamaan langsung (praktek) kepada peserta didik dalam upaya menanamkan nilai-nilai keagamaan seperti mengagumi ciptaan-nya. Dalam kurikulum KBK atau KTSP dikenal dengan pendekatan Contextual Teaching Learning.
b) Pendekatan pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Seperti berkata jujur, hidup bersih, dan lain-lain
c) Pendekatan emosional, yaitu usaha untuk menggugah perasaan peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran Islam. (tentang indah sorga, ngerinya neraka, dan lain-lain.
d) Pendekatan Rasional, yaitu usaha untuk memberikan kesemapatan berfikir secara rasio/akal dalam memahami, meyakini kebenaran Islam. Sebagian besar ajaran Islam dapat dipahami secara rasio atau akal manusia.
e) Pendekatan fungsional, yaitu dengan menamkan pemahaman kepada peserta didik bahwa ajaran agama Islam selalu berfungsi sepanjang zaman dan setiap tempat tidak ada satu nilai atau ajaran Islam yang dapat dikatakan out of date. Ajaran Islam merupakan ajaran yang sangat komplet dan sempurna, tidak ada satu ajaran yang mengatur manusia dari bangun tidur sampai tidur kembali, dari aspek yang paling kecil (masuk WC) sampai kepada mengelola sebuah negara kecuali ada dalam Islam
f) Pendekatan keteladanan, yaitu upaya para pendidik memberikan keteladanan kepada peserta didik dalam rangka melahirkan siswa yang berakhlakul karimah. Sangat dituntut bagi guru untuk memberikan keteladanan kea rah akhlakul karimah, apalagi kalau guru agama dapat dijadikan sebagai yang diidolakan oleh siswa.
Pendekatan-pendekatan tersebut seyogyanya sudah diperaktekkan oleh guru-guru di sekolah dalam rangka menyiapkan generasi yang bermoral, berakhlakul karimah dan menjadi generasi yang tangguh dalam menghadapi perubahan zaman dan kemorosotan moral.

E. Solusi Terhadap Problematika Moral Siswa
Memperbaiki moral siswa tentu tidak semudah membalik telepak tangan, apalagi kalau api (kerusakan moral) sudah terlampau besar, nabi Muhammad saw diutus ke dunia adalah untuk memperbaiki budi pekerti (akhlak) beliau berjuang dalam mencipkan masyarakat yang dulunya jahiliyah menjadi masyarakat yang madani bermandikan Iman, Islam dan Ihsan serta bermartabat berlangsung kurang lebih selama 23 tahun lamanya. Bagaimana dengan kita? Namun yakinlah bila ada kemauan pasti ada jalan.
Dalam tulisan ini, penulis memberikan beberapa alternative pemecahan masalah (solusi) untuk menghadapi keadaan moral siswa. Paling tidak ada tiga elemen yang berperan memperbaiki keadaan tersebut, yaitu; (1) sekolah (guru-guru), (2) masyarakat (tokoh masyarakat dan para ulama, dan (3) Keluarga (ayah, ibu dan anggota keluarga). Ketiga unsure tersebut harus berjalan secara konsisten dan sinergis (kompak) dalam memperbaiki akhlak peserta didik.
a. Bagi sekolah, termasuk di dalamnya guru, tata usaha, laboran dan tenaga kepedidikan lainnya, harus kompak dalam melaksanakan tata tertib sekolah, dan menyadari bahwa semua orang mempunyai tanggung jawab yang sama dalam membina moral siswa.
Hal-hal yang bisa dilakukan oleh sekolah adalah:
1) Memberikan kegiatan keagamaan dalam ektra kurikuler.
2) Buat jadwal shalat berjemaah secara bergilirian dan budayakan kultum.
3) Kegiatan PHBI, Pesantren Kilat, dan lain-lain.
4) Memfungsikan peranan BP dalam penanganan masalah siswa secara komprehensif.
5) Menyalurkan dan membina bakat-bakat siswa ke arah yang positif.
6) Menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait (orang tua, kepolisian, dinas kesehatan dan lain-lain.
7) Memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar adalah penting, namun yang paling penting adalah menyadarkan siswa yang melanggar agar tidak terulang lagi.
8) Wali kelas mempunyai peranan strategis dalam mengasuh siswa yang ada di kelasnya.

b. Bagi keluarga, (Ayah, ibu dan anggota keluarga dewasa), yaitu:
1) Mulailah mengganggap anak remaja sebagai teman dan akuilah ia sebagai orang yang akan berangkat dewasa.
2) Hargai perbedaan pendapat dan ajaklah berdiskusi secara terbuka.
3) Tetaplah tegas pada nilai yang dianut dengan alasan yang rasional, walaupun anak mungkin memiliki pendapat dan nilai yang berbeda.
4) Jangan malu atau takut berbagi masa remaja anda sendiri.
5) Mengertilah bahwa masa remaja adalah masa yang rumit, sulit, karena perubahan dari masa anak-anak akan menjadi dewasa, tentu remaja sangat labil.
6) Jangan kagit dan memarahi bila anak anda berekspremen dengan banyak hal, seperti; cara berpakaian, berdandan, dan berperilaku agak aneh.
7) Usahakan setiap hari ada shalat berjemaah di rumah.
8) Usahakan makan bersama dengan suasana nyaman, jangan memberi nasehat/memarahi pada saat makan.
9) Orangtua, harus memberi kesempatan kepada anak untuk memperbaiki kesalahannya.
10) Kontrol tayangan TV yang sering ditonton anak kalau perlu damping dan ajak berdiskusi. Bila anak keluar rumah di luar jam sekolah orangtua harus tahu ke mana anak pergi.
11) Orang tua mampu memberikan keteladanan bisa menjadi penutan remaja, biasakan orangtua/anggota keluarga membaca al Qur’an setiap ada kesempatan.
c. Di Lingkungan Masyarakat (tokoh masyarakat, ustaz dan ulama)
1) Harus ada kepekaan social dalam melaksanakan amar ma’ruf nahil munkar.
2) Mengaktifkan kegiatan remaja mesjid, PHBI, dan lain-lain
3) Menggalakan kerja bakti dan gotong royong yang melibatkan remaja.
4) Menggalakan kegiatan karang taruna/kelompok remaja dengan kegiatan yang positif.
5) Sebagai anggota masyarakat kita berkewajiban melaksanakan dakwah kapan dan dimana saja.
Dengan kerjasama yang kompak dari ketiga elemen di atas, dengan niat yang tulus (ikhlas) dan selalu berharapa kepada Allah, maka yakinlah bahwa generasi kita di masa yang akan datang tentu lebih berkualitas dan bermartabat yang pada gilirannya dapat tercipta masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang saling menghargai, saling mengasihi, saling menyayangi dan tolenransi yang tinggi serta demokrastis, sehingga akan terbentuk baldatun tayyibatun warabbun ghafuur.


F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sarana yang strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional atau lebih jauh melahirkan masyarakat madani, Namun kenyataan sekarang banyak sekali problema siswa tentang pelanggaran nilai-nilai/norma yang diyakini, seperti; terjadinya perkelahian antar pelajar, pergaulan bebas, perjudian, narkoba, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai factor, antara lain; arus globalisasi (internet), tayangan TV, tokoh idola fiktif, lingkungan individualis (hilangnya amar ma’ruf nahil mungkar), ketidak-harmonisan hubungan anggota keluarga, system pendidikan yang tidak konsisten, dan anak yang diduga belum diaqiqahi.
Fungsi pendidikan agama dan pendekatan pembelajaran agama menjadi modal bagi guru dalam memaksimalkan pendidikan agama kepada peserta didik dalam membina moral siswa. Ada tiga elemen yang dapat memperbaiki moral siswa atau anak remaja, yaitu, pihak sekolah, keluarga dan masyarakat. Ketiga unsur ini harus kompok dan sinergis.

G. Saran-saran
Bertolak dari kesimpulan di atas, maka hendakanya semua unsure yang terkait dapat bekerjasama dalam memperbaiki moral remaja, dengan memberi keteladanan kepada mereka sehingga generasi tua tetap dikenang sebagai orang yang berjasa dalam menghantarkan mereka menjadi ummat yang terbaik di muka bumi ini, Amien.

Daftar Pustaka
1. As’ad Karim al Faqi, 2005. Agar Anak Tidak Durhaka, Gena Insani, Jakarta.
2. Catatan Seminar, 2008. Seminar Hasil Penelitian Kompetitif Individual, Banjarmasin
3. Depag RI, 2005. Pedoman Penyelenggaran PAI Sekolah Tingkat Menengah (SMA dan SMK), Jakarta.
4. Depag Ri, 2003. Pedoman Umum Pendidikan Agama Islam Sekolah Umum dan sekolah Luar Biasa, Jakarta.
5. Team e-psikologi, 2002 Beberapa permasalahan Remaja, Google.co.id/permasalahan remaja. Jakarta
6. Modul: Perencanaan Pendidikan Agama Islam, Proyek Penyetaran D.2 GPAI Depag RI, 1994.



Read More......

2009-03-02

Pengumuman Kelulusan PLPG Angkatan 2008 LPTK Fakultas Tarbiyah

Assalamu'alaikum. Wr. Wb.

Berikut kami sampaikan hasil kelulusan peserta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Angkatan 2008, Provinsi Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur. Juga disampaikan hal-hal yang berhubungan pengumuman yang lain. Untuk membuka pengumuman ini silahkan mendownload link yang ada di bawah ini:
Untuk Provinsi Kalimantan Selatan
download
Untuk Provinsi Kalimantan Tengah
download
Untuk Provinsi Kalimantan Timur
download

Read More......

2008-12-18

Pengumuman Hasil Sertifikasi Guru LPTK Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2008

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Berikut kami sampaikan pengumuman hasil penilaian portofolio sertifikasi guru agama oleh LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin.

Untuk Provinsi Kalimantan Tengah silahkan mendownload file di bawah ini:
download

Untuk Provinsi Kalimantan Timur silahkan mendownload file di bawah ini:
download

Read More......

2008-07-04

Aplikasi Otomasi Perpustakaan Berbasiskan Web

Oleh :
Arif Rifai Dwiyanto, ST
Knowledge Management Research Group
Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK
Aplikasi berbasis web tumbuh seiring dengan berkembangnya teknologi Internet. Telah banyak aplikasi yang dibangun berbasiskan web, baik aplikasi CRM, ERP, GIS, dll, yang sebelumnya telah dikembangkan secara matang dalam platform lain.
Web yang pada awalnya didesain untuk menampilkan informasi (halaman HTML). Sekarang telah dikembangkan menjadi basis untuk aplikasi. Hal ini didorong dengan semakin banyak tersedianya pendukung pengembangan aplikasi berbasis web, baik dari sisi server maupun alat bantu pengembangannya (development tools). Namun, tujuan awal web untuk menampilkan informasi hypertext dengan protokol-protokol dibawahnya sedikit banyak mempengaruhi aplikasi yang dibangun diatas web.
Makalah ini coba membahas pengembangan aplikasi otomasi perpustakaan berbasis web, kekurangan dan kelebihannya, kemungkinan pengembangan kedepan serta usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mewujudkannya.

Kata kunci: Otomasi perpustakaan, Internet, Aplikasi berbasis web.
Selengkapnya silakan download disini download

Read More......

2008-07-03

Digital Library

From IndonesiaDLN

oleh Winy Purtini (e.winet@gmail.com)

Digital Library Federation di Amerika Serikat memberikan definisi perpustakaan digital sebagai organisasi-organisasi yang menyediakan sumber-sumber, termasuk staff dengan keahlian khusus, untuk menyeleksi, menyusun, menginterpretasi, memberikan akses intelektual, mendistribusikan, melestarikan, dan menjamin keberadaan koleksi karya-karya digital sepanjang waktu sehingga koleksi tersebut dapat digunakan oleh komunitas masyarakat tertentu atau masyarakat terpilih, secara ekonomis dan mudah.
“Digital libraries are organizations that provide the resources, including the specialized staff, to select, structure, offer intellectual access to, interpret, distribute, preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections of digital woks so that they are readily and economically available for use by a defined community or set of communities.”
Berdasarkan International Conference of Digital Library 2004,konsep Perpustakaan digital adalah sebagai perpustakaan elektronik yang informasinya didapat, disimpan, dan diperoleh kembali melalui format digital. Perpustakaan digital merupakan kelompok workstations yang saling berkaitan dan terhubung dengan jaringan (networks) berkecepatan tinggi. Pustakawan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mendapat, menyimpan, memformat, menelusur atau mendapatkan kembali, dan mereproduksi informasi nonteks. Sistem informasi modern kini dapat menyajikan informasi secara elektronik dan memanipulasi secara otomatis dalam kecepatan tinggi.
Sejarah Pengembangan Perpustakaan Digital
________________________________________
Gagasan yang muncul pertama kali sebagai dasar konsep perpustakaan digital muncul pada bulan Juli tahun 1945 oleh Vannevar Bush. Beliau mengeluhkan penyimpanan informasi manual yang menghambat akses terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Untuk itu, Bush mengajukan ide untuk membuat catatan dan perpustakaan pribadi (untuk buku, rekaman/dokumentasi, dan komunikasi) yang termekanisasi.
Selama dekade 1950-an dan 1960-an keterbukaan akses terhadap koleksi perpustakaan terus diusahakan oleh peneliti, pustakawan, dan pihak-pihak lain, tetapi teknologi yang ada belum cukup menunjang.
Pada awal 1980-an fungsi-fungsi perpustakaan telah diotomasi melalui perangkat komputer, namun hanya pada lembaga-lembaga besar mengingat biaya investasi yang tinggi. Misalnya pada Library of Congress di Amerika yang telah mengimplementasikan sistem tampilan dokumen elektronik (electronic document imaging systems) untuk kepentingan penelitian dan operasional perpustakaan.Dari sudut pandang pengguna, komputer bukanlah bagian dari fasilitas manajemen perpustakaan melainkan hanya pelayanan untuk digunakan staf perpustakaan.
Pada awal 1990-an hampir seluruh fungsi perpustakaan ditunjang dengan otomasi dalam jumlah dan cara tertentu. Fungsi-fungsi tersebut antara lain pembuatan katalog, sirkulasi, peminjaman antar perpustakaan, pengelolaan jurnal, penambahan koleksi, kontrol keuangan, manajemen koleksi yang sudah ada, dan data pengguna. Dalam periode ini komunikasi data secara elektronik dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya semakin berkembang dengan cepat. Pada tahun 1994, Library of Congress mengeluarkan rancangan National Digital Library dengan menggunakan tampilan dokumen elektronik, penyimpanan dan penelusuran teks secara elektronik, dan teknologi lainnya terhadap koleksi cetak dan non-cetak tertentu. Selanjutnya pada September 1995, enam universitas di Amerika diberi dana untuk melakukan proyek penelitian perpustakaan digital. Penelitian yang didanai NSF/ARPA/NASA ini melibatkan peneliti dari berbagai bidang, organisasi penerbit dan percetakan, perpustakaan-perpustakaan, dan pemerintah Amerika sendiri. Proyek ini cukup berhasil dan menjadi dasar penelitian perpustakaan digital di dunia.
• Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Perpustakaan
Perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi yang sangat penting kedudukannya dalam dunia informasi dan pendidikan harus dapat menjawab tantangan di era informasi ini. Tantangan tersebut adalah bagaimana menyalurkan informasi dengan cepat, tepat, dan global.
Untuk menjawab tantangan tersebut, perpustakaan pun melakukan perubahan-perubahan. Perubahan pertama yang dilakukan adalah mekanisasi. Mekanisasi pertama dilakukan dalam sistem administrasi khususnya katalog. Namun katalog ini bukanlah katalog yang kita kenal sebagai OPAC (Online Public Access Catalogue). Katalog ini hanya berupa daftar koleksi dan sumber perpustakaan tanpa terhubung dengan catatan peminjaman atau sumber eksternal.
Perubahan selanjutnya adalah mengintegrasikan fungsi komputer lebih jauh. Komputer selain berfungsi sebagai katalog elektronik, juga berfungsi untuk menampilkan perkembangan aktivitas peminjaman sehingga pustakawan dapat mengamati aktivitas peminjam secara detail guna memenuhi kebutuhan pengguna.
Kemudian perpustakaan mengadopsi otomasi yang merupakan buah dari pesatnya perkembangan teknologi komputer dan network pada masa 1980-an hingga 1990-an. Selain otomasi perpustakaan internal, teknologi komputer juga digunakan untuk komunikasi antar perpustakaan secara terbatas karena faktor biaya.
Perkembangan selanjutnya adalah penggunaan Electronic Data Interchange (EDI). EDI adalah pertukaran informasi bisnis antar komputer yang menggunakan format standar tertentu. Penggunaan EDI pada perpustakaan sama banyaknya dengan penggunaan EDI dalam dunia bisnis. EDI memungkinkan untuk berbagi data secara lebih luas dalam bentuk peminjaman antar perpustakaan, surat elektronik, pemesanan pinjaman secara elektronik, dan penyajian dokumen secara elektronik.
Tidak ada satu perpustakaan pun yang menyimpan seluruh informasi/terbitan, tapi pustakawan tetap harus berperan dalam menyediakan akses demi mendapat informasi yang lengkap. Salah satu caranya adalah dengan peminjaman antar perpustakaan. Dan sekarang ini lebih banyak perpustakaan yang melakukan kerjasama melalui jalur elektronik untuk mendapat keuntungan bersama. Konsep perpustakaan pun berubah dari user oriented menjadi user satisfaction oriented, kecenderungan untuk memberikan kepuasan pengguna lebih diutamakan.
• Motif-motif yang Mendasari Pengembangan Perpustakaan Digital
1. Pada perpustakaan konvensional, akses terhadap dokumen terbatas pada kedekatan fisik. Pengguna harus datang untuk mendapat dokumen yang diinginkan, atau melalui jasa pos. Untuk mengatasi keterbatasan ini perpustakaan digital diharap mampu untuk menyediakan akses cepat terhadap katalog dan bibliografi serta isi buku, jurnal, dan koleksi perpustakan lainnya secara lengkap.
2. Melalui komponen manajemen database, penyimpanan teks, sistem telusur, dan tampilan dokumen elektronik, sistem perpustakaan digital diharap mampu mencari database koleksi yang mengandung karakter tertentu, baik sebagai kata maupun sebagai bagian kata. Di perpustakaan konvensional penelusuran seperti ini tidak mungkin dilakukan.
3. Untuk menyederhanakan perawatan dan kontrol harian atas koleksi perpustakaan.
4. Untuk mengurangi bahkan menghilangkan tugas-tugas staf tertentu, misalnya menaruh terbitan baru di rak, mengembalikan buku yang selesai dipinjam ke rak, dan lain-lain.
5. Untuk mengurangi penggunaan ruangan yang semakin terbatas dan mahal.
Definisi perpustakaan digital
________________________________________
Ada banyak definisi perpustakaan digital berdasarkan pendapat para ahli atau beberapa lembaga. Di atas telah dicantumkan salah satunya yaitu, definisi yang dibuat oleh Digital Library Federation. Berikut beberapa definisi yang dirumuskan oleh lembaga/orang lain.
The Digital Library Initiatives menggambarkan perpustakaan digital sebagai lingkungan yang bersama-sama memberi koleksi, pelayanan, dan manusia untuk menunjang kreasi, diseminasi, penggunaan, dan pelestarian data, informasi, dan pengetahuan.
William Saffady mendefinisikan perpustakaan digital secara luas sebagai koleksi informasi yang dapat diproses melalui komputer atau repositori untuk informasi-informasi semacam itu.
John Millard mendefinisikannya sebagai perpustakaan yang berbeda dari sistem penelusuran informasi karena memiliki lebih banyak jenis media, menyediakan pelayanan dan fungsi tambahan, termasuk tahap lain dalam siklus informasi, dari pembuatan hingga penggunaan. Perpustakaan digital bisa dianggap sebagai institusi informasi dalam bentuk baru atau sebagai perluasan dari pelayanan perpustakaan yang sudah ada.
T.B. Rajashekar mendefinisikannya sebagai koleksi informasi yang dikelola, yang memiliki pelayanan terkait, yang informasinya disimpan dalam format digital dan dapat diakses melalui jaringan.
James Billington, pustakawan Library of Congress, dalam Rogers (1994), melukiskan perpustakaan digital sebagai sebuah koalisi dari institusi-institusi yang mengumpulkan koleksi-koleksinya yang khas secara elektronik.
Drobnik dan Monch (dalam Nugroho, 2000) mendefinisikan perpustakaan digital sebagai sekumpulan dokumen elektronik yang diorganisasikan agar mudah ditemukan ulang dan dibaca.
Association of Research Libraries (ARL), 1995, mendefinisikan perpustakaan digital sebagai berikut:
1. Perpustakaan digital bukanlah kesatuan tunggal.
2. Perpustakaan digital memerlukan teknologi untuk dapat menghubungkan ke berbagai sumberdaya.
3. Hubungan antara berbagai perpustakaan digital dan layanan informasi bagi pemakai bersifat transparan.
4. Akses universal terhadap perpustakaan digital dan layanan informasi merupakan suatu tujuan.
5. Koleksi-koleksi perpustakaan digital tidak terbatas pada wakil dokumen; koleksi meluas sampai artefak digital yang tidak dapat diwakili atau didistribusikan dalam format tercetak.
Komariah Kartasasmita mendefinisikan perpustakaan digital sebagai sebuah sistem yang memiliki berbagai layanan dan obyek informasi yang mendukung pemakai yang membutuhkan obyek informasi tersebut melalui perangkat digital atau elektronik.
Romi Satria Wahono mendefinisikan perpustakaan digital sebagai suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku (tulisan), gambar, suara dalam bentuk file elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer. Menurutnya, istilah perpustakaan digital memiliki pengertian yang sama dengan perpustakaan elektronik (electronic library) dan perpustakaan maya (virtual library)
Sedangkan Perez dan Enrech berpendapat bahwa definisi yang tepat dari perpustakaan maya (virtual library) diadaptasi dari visi sebagai berikut: akses jarak jauh dari titik manapun di dunia ini menuju isi perpustakaan dan segala jenis informasi, dengan menggunakan komputer.
Dari definisi-definisi di atas dapat diambil sintesa bahwa perpustakaan digital adalah organisasi atau lingkungan yang mengelola koleksi informasi berupa tulisan, gambar, dan suara dalam bentuk elektronik dan memberikan pelayanan kepada pengguna melalui jaringan internet.

Tujuan Perpustakaan Digital
________________________________________
Sebagaimana yang diharapkan pada gagasan awal, perpustakaan digital bertujuan untuk membuka akses seluas-luasnya terhadap informasi yang sudah dipublikasikan. Tujuan perpustakaan digital menurut Association of Research Libraries (ARL), 1995, adalah sebagai berikut:
• Untuk melancarkan pengembangan yang sistematis tentang cara mengumpulkan, menyimpan, dan mengorganisasi informasi dan pengetahuan dalam format digital.
• Untuk mengembangkan pengiriman informasi yang hemat dan efisien di semua sektor.
• Untuk mendorong upaya kerjasama yang sangat mempengaruhi investasi pada sumber-sumber penelitian dan jaringan komunikasi.
• Untuk memperkuat komunikasi dan kerjasama dalam penelitian, perdagangan, pemerintah, dan lingkungan pendidikan.
• Untuk mengadakan peran kepemimpinan internasional pada generasi berikutnya dan penyebaran pengetahuan ke dalam wilayah strategis yang penting.
• Untuk memperbesar kesempatan belajar sepanjang hayat.

Peran Perpustakaan Digital
________________________________________
Ismail Fahmi menjelaskan bahwa perpustakaan digital berperan sebagai penyedia informasi, penyedia layanan informasi, atau pengguna informasi dengan memanfaatkan jaringan dan teknologi digital. Namun bagaimana koleksi digital itu dimanfaatkan, sangat tergantung dari bagaimana informasi tersebut dibuat, diorganisasikan, dan disajikan.
Selain itu perpustakaan digital bukan hanya berkenaan dengan manajemen pengetahuan (knowledge management) dan informasi. Arlinah Raharjo menjelaskan bahwa perpustakaan sebagai salah satu sumber informasi mulai diharapkan untuk menjalankan peranan yang lebih sebagai pendamping dalam proses pendidikan seumur hidup. Tantangan bagi pustakawan adalah untuk memahami dan menentukan posisinya dalam proses perubahan dan beralih dari pemikiran perpustakaan sebagai ruang fisik semata ke suatu kenyataan baru perpustakaan sebagai organisasi yang harus mengembangkan jenis layanan informasi digital.

Masalah dan Isu-Isu mengenai Perpustakaan Digital
________________________________________
Pengembangan perpustakaan digital bukan tidak mengalami hambatan. Ada beberapa hal yang menjadi bahan perhatian, yaitu:
1. Kemampuan dan penentuan biaya. Seperti halnya dengan inovasi lain yang membutuhkan suatu investasi, begitu pun perpustakaan digital. Apalagi infrastruktur komputer masih membutuhkan biaya yang besar.
2. Masalah hak cipta yang terbagi dua: hak cipta pada dokumen yang didigitalkan dan hak cipta pada dokumen di communication network. Di dalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen lewat jaringan komputer belum didefinisikan dengan jelas.
3. Masalah mendigitalkan dokumen. Yaitu bagaimana mendigitalkan dokumen dan jenis penyimpanan digital dokumen, baik berupa full text maupun page image.
4. Masalah penarikan biaya. Hal ini menjadi masalah terutama untuk perpustakaan digital swasta yang menarik biaya atas setiap dokumen yang diakses. Penelitian di bidang ini banyak mengarah ke pembuatan sistem deteksi pengaksesan dokumen atau pun upaya mewujudkan electronic money.

Read More......

2008-07-01

ETIKA PROFESI PUSTAKAWAN

Oleh :
Suyoto, SH. SIP
Pustakawan Muda Universitas Lampung

1. Pengertian Etika
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, ilmu tentang hak dan kewajiban moral (ahklak).
Begitu juga seperti yang telah dikemukakan oleh Franz Von Magnis (1976), etika adalah ilmu tentang kewajiban-kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang buruk atau disebut bidang moral.
Sifat dasar dari etika adalah bersifat kritis, sedangkan etika bertugas untuk mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku. Dengan demikian etika dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional untuk membentuk pendapatnya sendiri. Obyek dari etika adalah pernyataan moral tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsure pribadi manusia, seperti; motip-motip, maksud dan waktunya. Pernyataan tidak bersifat moral tetapi penting dalam tindakan meliputi; peeyataan kewajiban, misalnya betul, salah atau wajib. ( mencuri itu salah, engkau harus mengembalikan uang itu). Pernyataan itu merupakan suatu tindakan tertentu sesuai atau tidak sesuai dengan norma-norma moral.
Penilaian moral; orang-orang, kelompok, dinilai baik, buruk, jahat, suci, memalukan, tanggung jawab, pantas ditegur.
Penilaian-penilaian bukan moral; apa Baja yang dapat dinilai, misalnya mangga itu enak, anak itu sehat, dll.
Pustakawanan sebagai suatu profesi, berarti secara moral ia harus dapat bertanggung jawab terhadap segala tindakannya baik terhadap sesama profesi pustakawan, terhadap organisasi dan terhadap dirinya sendiri. Pustakawan mempunyai kewajiban untuk melakukan suatu tindakan sesuai profesinya dan ia harus dapat menghindari tindakan-tindakan yang buruk, salah, yang bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat.

Selengkapnya silahkan download disini download

Read More......
 
©  free template by Blogspot tutorial